setting

Just For Share: Rendesvous (Cerpen)

Rendesvous (Cerpen)

“Are you Rei ?“ tanya seorang laki –laki berperawakan jangkung yang sedari tadi hanya melihat heran akan sosok seorang wanita yang sedang memandangi jatuhya air terjun impian itu dengan mata sayu. Ia menoleh, melihat laki – laki itu dengan kening berkerut, mengingat.
“Benarkah ? anda Rei Liez? “ lagi – lagi laki – laki itu mengulang pertanyaannya dengan penekanan.
“Maaf, apa anda kenal saya ?“ ia membalikkan tubuhnya dari jembatan yang hampir membuatnya tenggelam.
“Oh … Benarkah? Benarkah kamu Rei ?“ laki – laki itu bertanya sekali lagi dengan mata bersinar, tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. Wanita itu hanya melengah, sedikit kesal mendengarya.
“Yeah … you’re right ! Kenapa dan bagaimana Anda tahu nama saya, Mr?” ia hanya menanggapi biasa saja dan menyibakkan rambut panjang ikalnya yang tertepa angin. Kemudian kembali memandangi air terjun didepannya.
“Rei … emang kamu udah bener – bener lupa padaku ?“ kali ini wanita yang bernama Rei menyatukan keningnya, heran.
“Jadi, anda orang Indonesia? Dan mengenal saya? Tapi sungguh saya memang De Javu dengan wajah anda. Maaf, di mana kita pernah kenal?“ laki – laki itu memukul jidatnya
“Oh … My God, Allah ! Well … I can understand, girl. Karena kita sudah delapan tahun tidak pernah bertemu. And really aku satisfied banget bisa tahu wajah kamu yang really – really berubah. And …“ laki – laki itu tertawa kecil, menahan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Rei hanya memandangnya heran.
“I don’t know, apa kamu yang jadi a little bostfull or emang my face tidak layak diingat. But I’ll introduce my self again in front of my…hmmmm” ia sedikit ragu. “ …close friend, maybe. Hai !” ia menarik nafas ringan “ my name is Keiro I came from Jakarta, Indonesia.”



Ia menyudahi perkenalan yang dianggapnya gila dengan senyuman hangat. Rei menganga tidak percaya. Ia menatap laki – laki itu dengan mata kosong.
“Kei-ro ?“ Laki – laki itu sedikit panik melihat mata Rei sedang berkaca – kaca. Sedetik kemudian Rei memeluk tubuh jangkung itu. Dan menjatuhkan air mata yang terasa hangat meresap kedalam sweater Keiro. Ia membiarkan Rei menangis didalamnya. Setengah ragu iapun akhirnya memeluk erat tubuh itu. Rasa rindu yang bertahun – tahun ya … rasa rindu yang mendalam dan baru ini ia menemukan obatnya. Mereka terdiam menikmati hembusan bayu yang terciprat dari atas waterfall. Air embun yang menyejukkan jiwa pun membasahi rindu itu. Tak ada kata. Jembatan Zahara, pagi hilang oleh rindu dua insan yang menjadikannya saksi bisu pertemuan itu.

Rei menarik tubuhnya dari pelukan laki – laki yang memang dia harapkan begitu lamanya. Keiro. Dia menatap mata sayu yang tak pernah lepas dari ingatannya itu. Kemudian mereka saling salah tingkah. Memang seharusnya hal itu tidak boleh terjadi antara rasa sepasang sahabat yang berbeda insan.
“I’m sorry, tadi itu …“ Kei berkata gugup dan pipinya berubah menjadi pink.
“Ya aku tahu. Itu tandanya, kamu kangen ama aku, do you ?.” Kei merasa lega. Rei hanya tersenyum. Dan senyuman itu terbayang lagi pada lima tahun lalu saat Kei pertama kalinya mengenal sosok yang selalu kelihatan sweet di matanya.
“Dan kenapa selama ini kamu tidak pernah memberiku kabar ? Yeah I know. Austria made you more than last time. Yeah like kamu menghadapi hidup yang maybe lebih menarik for you.”
“Dan kenapa kamu juga ada disini, Rei ?“ Kei malah balik bertanya.
“Apa aku harus menjawab pertanyaanmu jika kamu juga tidak menjawab pertanyaanku ?“ mata Rei menatap lekat mata laki – laki yang tingkahnya mulai janggal. Kei terdiam.
“Why ? is that a difficult question ? “
“Bagaimana kalau kita ngobrol sambil breakfast atau minum coffe yang masih hangat ?“ Rei tidak menjawab. Tapi Kei berjalan memimpinnya kesebuah Café Morning. 

###

“Ya …, okay ! but … well … miss you too …” Sebuah telepon genggam terlempar begitu manisnya dari tangan Rei. Ia hempaskan nafas yang mulai memberat. Matanya nanar menatap langit – langit kamarnya. Dan mulai menumpukkan bendungan air bening. Ia melirik Hand Phone blue metalic yang sedang berbunyi disampingya.
“Ya Fay, ada apa?“ katanya sedikit malas sambil menghapus air mata yang hampir saja terjatuh.
“Ya … aku sekarang lagi ada di rumah. Ya … satu minggu yang lalu. Well … semuanya baik – baik saja. Yeah … aku hanya jalan-jalan around there. Hmm…“ lagi – lagi ia membanting benda kecil itu. Sejenak ia terdiam.
“Oh Tuhan inikah final dari semua ceritaku pada seorang pangeran terlarang yang aku impikan ? apakah ini semua jawaban kisahku ? apa pertemuan itu Kau juga yang mengaturnya ?” ia mendesah sebentar dan membalikkan tubuhnya kesamping, memandangi sebuah bingkai foto yang terletak di meja teleponnya.
“ Apa aku salah mencintaimu, Kei?“ ia mengambilnya kemudian memendamkannya kedalam pelukannya.

###

“KRINGG…KRINGG…KRIIINGG…”
“Iya tunggu!” Rei berlari terbirit-birit ke arah ruang tamu.
”Sialan! Siapa siy yang nelpon? Nggak sabar amat!” sambil mengusap-ngusap tangannya yang kotor (karna habis makan cokelat dan juga gorengan) ke celana pendeknya, ia mengangkat telepon yang masih berdering itu.
”Ya halo”
”Ya ampun, Rei! Lama banget sih!” cerocos suara di seberang lautan sana. Cowok? Rei bertanya heran pada dirinya sendiri.
”Pasti lo udah tidur? Ya kan? Hergh…gimana mo sexi kalo kerjaan lo tidur mulu? Kurangin tuh pipi tembem yang nggak enak dipandang itu!”
“Hei dodol! Siapa sih niy?” hati Rei terasa mulai memanas mendengar saduran tabu barusan.
“Siapa bilang aku gemuk? Liat dari arah mana lo?”
”O...o...ternyata lo masih tetep ja ya,Rei. Malah tambah jutek daripada yang dulu. Gimana lo mau punya cowok, mereka bakalan kabur dulu sebelum lo ngomong tuh” Rei benar-benar mencermati liuk-liuk suara yang sedikit tidak asing di telinganya. Santai tapi juga sengak!. “Udah lupa beneran neh ceritanya?” tanya laki-laki itu dengan nada yang membuat Rei sedikit mangkal.
”Dasar nenek pikun! Gimana caranya sih supaya lo nggak jadi nenek pikun lagi?”
Hergh! Benar-benar menyebalkan. Umpatnya dalam hati. Tapi sepertinya aku kenal suara orang ini deh... Seingatku, orang yang omongannya sengak dan manggil aku dengan kata ’nenek’ di depanku, ya Keiro!. Tapi apa mungkin ini dia?
”Okay...okay...!”
”Niy gua,Rei. Kei!” Rei masih tidak percaya kalau ternyata pikirannya benar. Dia Kei!.
”Nek! Nggak lagi tidur kan?” Rei tersadar dari lamunannya.
”Kei?”
”Iya bener”
”Masa sih?”
”Ya ampun, nek. Iya...iya!”
“Keiro?”
“Iya!”
“Kei yang sengak itu kan?” tak ada jawaban dari seberang.
”Waduh untuk kata itu dikurangin dong maknanya, Nek!”
”Ada angin apa lo ampe bisa telpon-telpon gua?”
“Kangen aja”
“Kangen?” “Ow…ternyata lo bisa kangen juga ya?”
“Ya iyalah! Secara gua manusia juga gitu loh…”
“Dasar kakek buntung! Kenapa baru sekarang lo telpon gua? Pakai acara ngilang-ngilang segala. Emang udah lo gadaiin tuh HP ampe nomornya nggak aktif?”
”Well, sorry deh...capek nih mau cerita lebih detailnya. Tapi yang pasti sekarang udah muncul lagi kan?” jawab Kei sambil tertawa kecil. ”Gua masih di Jakarta kok, Nek. Udah mau skripsi nih...yah sedikit capek sih. Tapi buat gua semua itu seru, Nek” Rei hanya mendengarkan Kei bercerita seenaknya. Ia memang merindukan suara itu. Setelah beberapa tahun dia tak pernah lagi berkomunikasi.
”Waduh...diputus dulu ya,Rei. Dipanggil nyokap nih. Biasa, paling-paling gua di suruh belajar di kantor bokap lagi. See ya, Nek. Janji deh, entar gua sambung lagi”
”Kei...” tapi yang ia dengar hanya bunyi nada ”TUT” tanda telpon sudah terputus.

Sebelum ia meninggalkan telepon yang sudah tergeletak rapi lagi di depannya, deringannya kembali terdengar. Cepat-cepat ia mengangkatnya.
”Ya”
”Rei...” ia mendesah kecewa mendengar suara yang ternyata milik seorang wanita yang sangat tidak asing di telinganya.
”Ada apa, Ne?” tanyanya malas 
”Yah..belom say hello ja kamu udah lemes begitu? Naon?”
”Nggak ada sih...tadi...”
”O..iya. Kemaren aku lupa mau ngasih kabar kalau dua hari yang lalu Kei datang ke sini. Tapi...” 
”Apa?! Kei? Datang ke sini? Kok aku nggak tau? Kok kamu nggak ngasih tau sih?!” ”Wait...wait...jangan keburu marah dulu. Maunya sih gitu...tapi, Kei ngelarang aku ngasih tau kamu kalau dia kemaren di sini. Dia sempat jalan-jalan bareng ma aku lho...so sweet...baru kali ini mimpiku terkabulkan. Aku jalan bareng ama Kei, Rei.”
”Heh..! Ingat dong! Udah punya suami lo. Jangan maen embat ja lo! Mau dikemanain tuh si Ari?”
”Iya..iya aku ngomong gini juga udah ingat kok ama Ariku sayang. Kan dia ada di otakku everytime and everywhere…hehehe…”
“Hergh…capek deh” desah Rei sebal.
“Barusan dia telpon aku”
“Apa?!” Rei menjauhkan telinganya dari gagang telpon. Kalau tidak, bisa-bisa telinganya bakal pecah gendangnya mendengar lengkingan Dane.
”Wah! Berarti angin tornado udah nyampe ke rumahmu tuh” tawa Dane.
”Maksud loh?”
”Ya ampun, Rei...mulai kapan kamu harus berpura-pura nggak tau kalau Kei itu masih mikirin kamu. Mulai kapan kamu sok angkuh begitu? Kalian bedua itu sama-sama jaimnya!”
” Yang aku heranin, dia masih saja tanya-tanya semua tentang kamu. Kalau hanya sepasang sahabat, nggak bakalan aneh seperti itu, Rei” Rei terdiam.
”Aku juga ’agak’ kaget waktu dia bilang, dia lagi jomblo-jomblo aja. Aneh diraso. Sangat itu. Andaikan aku nggak jadian sama Ari, mungkin aku embat aja dia..hahaha....”
”Aku hanya nggak ingin...”
”...Persahabatan itu putus gitu aja karna ternyata kalian saling mencintai dan itu melebihi rasa persahabatan kalian?” Dane langsung menyambungnya tanpa titik. Rei tak menjawab. Karena memang itulah yang ingin ia katakan.
”Udah basi, Rei!”
”Tau nggak? Orang yang udah berkeluarga aja bisa pacaran lagi ama orang lain yang lebih mereka cintai, kenapa sesama sahabat nggak boleh?”
”Dane...”
”Iya, aku tau. Aku udah nggak bisa lagi ngomong panjang lebar untuk menjelaskan semua ini ma kamu yang nggak pernah bisa nerima keadaan.” 
”Iya aku ngerti!” jawab Rei tegas.
”Masalahnya kita ada di tempat yang terpisah”
”Who cares?” ”Kalau jodoh nggak bakalan lari kemana, Rei!”
”Tapi...”
”Duh sorry banget ya, Ari udah jemput aku nih...bye Rei-ku yang manis..mmmuaahhh...” ”TUT..TUT...TUT...”Rei membanting telponnya.
Dan mulai memikirkan kata-kata Dane. Rei mengingat masa beberapa tahun lalu.
Tapi sejak itu, Kei tak pernah lagi muncul kabarnya. Janji itu hanya sebuah kata saja. Walaupun sebenarnya Rei sangat berharap Kei akan meneleponnya lagi. Kekecewaan yang sangat menyerangnya saat semua nomor-nomor Kei tak lagi bisa dihubungi. Dan laki-laki itu juga tidak pernah memberi kabar secuil pun. Mengingat semua itu Rei semakin menjadi-jadi. Dan air matanya sudah menjadi kali di kamarnya. Gambar seorang lelaki yang ia genggam menjadi sangat kusut. Satu menit kemudian ia meremat-merematnya sampai gambar wajah itu tak lagi berbentuk. ”I hate you, Kei!”

###

Senja yang mulai menggelap tak membuat Rei beranjak dari dudukya. Matanya kosong. Lamunan itu ia rasakan semakin dalam. Apalagi angin berhembus sayup-sayup menambah kebetahannya yang ia lakukan setiap sore.
”Tadi aku ke sini tapi kamu lagi nggak ada” Rei tersentak kaget oleh suara di belakangnya. Fay. Ia duduk di hadapannya.
”Masih menolak acara makan malamku?” ia memandanginya dengan mata yang hangat. ”Entahlah” ”Aku malas mau pergi kemana pun”
”Aku janji, untuk malam ini kita nggak akan kemana-mana kecuali makan malam saja” ”Jangan paksa aku, Fay” Fay melengah kecewa. Untuk yang kesekian kalinya.
”Okay... kalau itu yang kamu mau.” kembali ia memandangi gadis di depannya. Yang masih dengan tatapan kosongnya.
”Jaga diri baik-baik ya...jangan lupa makannya. Kalau melihatmu seperti ini terus, rasanya aku tidak bisa diam” Rei membalas tatapannya.
”Aku bukan anak kecil, Fay. Aku bisa mengatur semua jadwal makanku” Fay mengalah. ”Okay...” ”...Kalau begitu aku pulang dulu” tak ada sahutan. Tetapi Fay masih berdiri di situ. Dengan ragu-ragu ia melangkahkan kakinya ke luar pagar dan menghidupkan BMW hitamnya.
“Maafkan aku, Fay…” ujarnya. Air mata yang masih hangat menyapa kedua pipinya lagi. ”Aku sebenarnya benci pada diriku sendiri. Yang tak pernah bisa melupakan sosoknya yang sungguh membunuh hatiku.” ia mengusap air matanya. Terdiam lagi. Memandangi langit yang sudah menghitam. Diikuti munculnya cahaya gemerlap kecil-kecil.

###

“Bagaimana kabarmu, Rei?” tanya Kei sambil menyeduh kopi hangatnya.
”Menurutmu?”
”Ha ha ha... apa yang aku lihat belum tentu yang kau rasakan benar. Iya kan?” Rei tersenyum. Membuat pipinya yang kedinginan menjadi memerah.
”Aku baik-baik saja” jawabnya singkat. Melihat Kei yang masih mengunyah Pizza.
”Tapi yang aku lihat tidak seperti yang kamu katakan. Ha ha ha. Benar kan? Pikiranku ternyata salah.” ”Oya, ada acara apa kamu hingga sampai ke sini?” ”Sungguh suatu keajaiban bisa bertemu denganmu lagi, Nek” Kei tersenyum.
”Ada acara liburan dengan keluargaku. Kebetulan saja mereka ingin pergi ke sini. Dan, aku juga merasa ini adalah suatu keajaiban Tuhan, bisa melihat mu yang sudah semakin berbeda dari kamu yang dulu” Kei tertawa lepas.
”Aku rasa aku memang sudah berubah dari aku yang dulu, Rei. Lihat saja! Wajahku semakin tampan dari yang dulu bukan?” mendengar itu Rei juga ikut tertawa.
”Oya, sudah nikah belum?” pertanyaan itu memang terdengar tidak sepenuhnya. Entah Kei sudah merencakannya atau itu spontanitas saja keluar dari bibirnya. Tapi yang jelas itu membuat tawanya terhenti seketika. Melihat perubahan itu, Kei terdiam heran.
”Maaf, aku tadi hanya bercanda. Well, e... hampir empat tahun aku ada di sini, Rei. Dan aku heran kenapa aku juga betah ada di sini” Rei mengembangkan senyumnya. Kei berhasil mengalihkan pembicaraan.
”Betah itu karena suatu hal. Faktor utamanya adalah karena adanya seseorang yang menemani hari-hari kita”
”Ha ha ha...kamu juga berubah kok, Rei. Kata-katamu semakin mencondong ke psikolog. Tapi itu benar. Itulah yang memang aku rasakan” Kei membuang nafas leganya. Masih dengan senyumannya. Sesuatu yang menyusut terjadi di batin wanita itu. Ia merasa dinding jantungnya semakin sempit untuk menerima semua oksigen yang ia hirup.
”Sudah dua tahun yang lalu aku mengenal dia, Rei. Bukan Warga Negara sini. Kita sama-sama pendatang dari Indonesia.” sesuatu yang menyesakkan itu semakin meluap saja. Seakan-akan ingin rasanya meledak saat itu juga.
”Oh My God! Miss...” Kei dan Rei menengok ke arah suara berat itu. Sudah berdiri di sampingnya Mr. Bill. Suruhan papanya yang dari tadi mencari keberadaannya. Dan ada kelegaan di hatinya melihat Rei ada di situ.
”Mr. Bill! Maaf membuat Anda khawatir. Dia adalah teman saya waktu di Indonesia. Kita bertemu tiga jam yang lalu. Dan..”
“Okay, let’s we home” ia menoleh ke arah Kei yang masih mengunyah pizza hangatnya. “Maaf Kei, aku harus pulang ke Indonesia. Nice to meet you…” kemudian ia melangkah di samping Mr. Bill menuju mobil silver yang terparkir di ujung jalan.
 “Rei…” dan mungkin Rei sengaja tidak menoleh lagi kearahnya. Karena air matanya sudah membuat bendungan di kelopak matanya. 
”Rei...” ia mendengar Kei berlari mengejarnya.
”Rei tunggu” akhirnya Kei berhasil meraih lengannya.
”Iya” hanya sebuah sahutan pendek yang Kei dengar.
”Apa kau masih mau aku telpon?” Rei menatapnya lama.
”Mungkin. Aku tidak tahu apa aku masih punya waktu untuk menerima telepon dari orang” Kei mengerutkan keningnya.
”Maksud kamu, Rei?”
”Aku tidak mau menerima ucapan yang berbentuk janji tidak nyata dari siapapun” setelah berbicara seperti itu Rei langsung memasuki mobilnya. Mr. Bill sudah menunggunya di depan setir. Kei terpaku mendengar ucapan darinya. Sepertinya ia telah mengingat makna dari yang Rei ucapkan itu.
”Rei...” ia tersadar saat mobil itu sudah melaju meninggalkannya.

###

“Oh Tuhan inikah balasan untukku yang telah bertahun-tahun menunggunya. Menunggu keajaiban yang aku inginkan bersamanya. Inikah keajaiban itu, Tuhan? ” lagi-lagi air matanya jatuh menderas.
”Aku benci dia, Tuhan!!!”
”Kenapa aku mau saja menyimpan cinta ini hanya untuknya yang ternyata telah memiliki wanita lain? Kenapa Tuhan?” suaranya terdengar semakin menyanyat hati. Ia masih saja menangis di balik bantalnya. Hingga ia terlelap terbuai mimpi. Dan hatinya masih hidup untuk berkata.
”Aku berjanji akan melupakan siapa dia. Dan membunuh cinta ini dari hatiku. Aku berjanji Tuhan, akan aku tunjukkan kalau suatu saat nanti aku takkan pernah mencintainya. 8 tahun itu adalah kematianku. Dan esok, aku ingin terbangun dengan raga dan jiwaku yang baru. Hati yang sudah tak ada namanya lagi, Tuhan. Otak yang sudah tak memanggil namanya lagi, Tuhan. Aku ingin Kau mengabulkannya.”

###

 Pagi itu Rei sudah berpakaian rapi. Kemeja putih dengan renda di lehernya dan celana hitam satin favouritenya. Pagi ini Pak. Atmojo, papanya menginginkan kehadirannya pada rapat di kantor milik beliau. Ia memang belajar banyak dari papanya. Seorang pengusaha hebat yang benar-benar nyata yang pernah ia kenal. Ia hanya menjadi bagian dari tangan kanan papanya. Hingga siang itu ia pulang dengan badan yang terasa lelah.
”Rei!!!” spontan ia kaget ketika pintu rumahnya sudah dibukakan oleh seorang wanita yang mempunyai suara ekstra heboh.
”Dane?”
”Surprise!!!” buru-buru Dane memeluknya.
“Pasti kamu nggak nyangka kan dengan kedatanganku?” Rei masih tidak mengerti kenapa Dane sudah ada di dalam rumahnya. Tapi ia tetap saja melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Meletakkan tas Gucci putihnya di atas meja. Melepas sepatu yang sudah membuat kakinya sedikit kelu. Dan membaringkan tubuh semapainya di atas tempat tidur. Dane hanya bisa menyatukan kedua alisnya melihatnya.
”Dari tadi kamu nyuekin aku lho...” Dane duduk di sebelahnya.
Dan melihat sekeliling kamar yang masih agak berantakan. Mungkin saja Rei terburu-buru tadi pagi, pikirnya. Namun Dane tercekat saat ada robekan-robekan foto di bawah meja kecil yang terletak di samping tempat tidur. Dane menghampirinya dan memungutnya. ”Kei...” Rei menoleh kearah Dane dan melihat Dane lagi memegang serpihan kertas foto. ”O..itu...kamu bakar sekalian pun aku juga nggak peduli” ia kembali menatap atap-atap kamar. Dane berdiri dan duduk menghampirinya.
”Apa...”
 ”Sudahlah, sweety...hari ini dan nanti aku tidak ingin mengingat, mendengar, dan melihat yang berbau dia ataupun namanya. Aku harap kamu tidak menanyakan kenapa sebabnya. Karena aku tidak mau lagi bercerita tentangnya” ia duduk dan menatap Dane.
”Laki-laki itu tidak hanya dia. Yang lebih baik dari dia pun masih banyak”
”Dan...” ia berhenti bicara karena deringan HPnya berbunyi. Tertera di sana sebuah nama yang selama ini masih menanamkan asa. ”Fay”. Rei melempar senyum pada Dane dan memperlihatkan nama seseorang yang sedang menelponnya. Dane hanya mengangguk tanda mengerti dan membalas senyum Rei. Berharap itu memang yang terbaik.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Just For Share Urang-kurai | Published by satu-delapan