Pages

Pages

Jumat, 17 Februari 2012

SMS (Cerpen)

Nyi?
dia memanggilku dengan "Nyi.."?
dan melanjutkannya dengan "Nyi Roro Sulis"? aku tidak tau apa maksudnya. Kenal saja tidak.
Lalu, kenapa dia memanggilku dengan sapaan aneh begitu? Memangnya aku ini titisan Nyi Roro Jonggrang? Atau dia pikir aku ini cucu terakhirnya Nyi Roro Kidul?
Ah, tak taulah! Aku tidak mau ambil pusing siapa dia dan kenapa dia suka sekali memanggilku dengan sapaan itu. Karena dia, aku juga ikut-ikutan memberinya nama aneh. Ku panggil dia "Ki Ageng Dholah". Atau singkatnya aku panggil dia "Mbah Dholah".
Sebabnya, karena nama itu meluncur begitu saja dari bibirku.

 Itu awal perkenalanku dengan seorang lelaki lewat SMS yang sampai sekarang aku tidak tahu dia sebenarnya. Aku juga tak merasa aneh kenapa tiba-tiba ada friend ID baru di YMku. Yang mana memang sering aku On Linekan. Aku juga tak pernah merasa tanda tanya besar saat ada sebuah surat e-mail dari seseorang yang namanya juga asing. Aku tidak pernah memperhatikannya. Aku hanya membukanya. Dan mendownload lagu-lagu yang ia kirimkan untukku. Setelah itu, semuanya seperti yang tak pernah aku baca ataupun aku lihat.



"Lagi sendiri ya, Non?"

Sebuah e-mail di pagi ini, sedikit mengejutkanku. Jamnya saja masih baru terkirim. 07.45 am. Dan sekarang 07.49 am. Aku celingukan di dalam ruanganku, yang hanya ditempati 3 orang saja. Dan itu tidak mungkin mereka yang mengirimnya. Mbak Indah jarang sekali bercampur tangan dengan e-mail. Pak Toni justru tidak pernah menyentuh yang berbau e-mail. Dia paling suka berinteraksi lewat SMS atau langsung telpon dengan CDMAnya. Dan kebetulan sekali mereka tidak hadir hari ini karena sedang mengikuti sebuah rapat kepengurusan Administrasi di ruang atas.

Dan di luar? Tidak mungkin. Tidak ada orang di luar. Aku menggeleng-nggelengkan kepala. Berharap ini memang suatu kegilaan yang terjadi di pagi ini. Tapi itu memang benar-benar sebuah e-mail untukku. ah, ...(aku menepiskan bingung itu) Lalu aku kembali mengetik pekerjaanku. Dan kuperhatikan tangan-tanganku mengetiknya dengan gemetar. Bukan takut. Tapi ... Entahlah... Aku sedikit merasa, ya mungkin sedikit was-was... Jangan-jangan ada orang yang selama ini membuntutiku? Pikiran itu muncul dengan manis dibenakku. Moga saja itu tidak pernah terjadi. Kembali aku mengetik pekerjaanku hingga jam kerja usai.

Kutata kembali semua kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerjaku. Membuang sesuatu yang sudah tak dipakai ke tempat sampah. Dan kugayut tasku. Berjalan melewati rekan-rekan yang belum pulang di ruang lain, menuju tempat parkir untuk mengambil motorku. Ah, memang jaman sekarang sebuah SMS yang nyasar pun bisa jadi sebuah awal perkenalan orang per orang. Mungkin itu juga di sengaja. Tapi untunglah aku tak pernah me-nyePam kan semua SMS nyasar itu. Paling-paling aku lihat dulu apa isinya, kalau memang mereka Spam, baru aku hapus dan tidak pernah aku balas.

Tapi untuk "Mbah Dholah" ini, kenapa sampai sejauh ini aku meladeninya? Atau karena rasa penasaranku begitu besar akan dia sebenarnya? Yang tahu 80% tentang aku. Malasnya, dia memang sengaja untuk membuatku semakin penasaran dan me-misterikan dirinya sendiri. Mau tak mau aku menyimpan nomornya sampai sekarang. Malam ini terasa lebih dingin dari yang kemarin. Aku sengaja duduk sambil menaikkan semua kakiku ke atas sofa yang ada di depan perapian. Dan tanganku sibuk membuka-buka koran dan majalah tadi pagi. Sekali-kali menyeduh teh mocca yang masih hangat.

Tak lama sebuah suara ring-tone SMS membuatku kaget. Kutaruh koran yang hampir selesai aku baca, dan membuka Pesan di Inbox.
"Mbah Dholah!"
Hergh...sebal iya, tapi juga suka.
"Sugeng Dalu, Nyi...Pripun kabare? Sae-sae mawon to?" (Selamat malam, Nyi... Bagaimana kabarnya? baik-baik saja bukan?) Waduh! Aku sempat berpikir, niy orang benar-benar dari kraton kali ya? Jaman sekarang, masih ada juga orang mengirimkan SMSnya memakai bahasa daerah? Aku tersenyum geli.
Aku suka itu.
Aku balas SMSnya dengan bahasa campuran. Walaupun aku lahir di tanah Jawa, tapi untuk berbahasa Jawa sehalus itu, aku berani mundur. Balas-membalas pun berlangsung lumayan lama. Intinya aku menanyakan siapa namanya dan dari mana dia? Tapi tak pernah ia jawab dengan sungguh. Dan untuk menjaga kemisteriannya, akhirnya dia menutup balas-membalas SMS itu.

Aku melepas nafas kesal, mengalah untuk tidak bertanya lagi dan pura-pura tak penasaran. Kuletakkan HP di atas meja. Meringkas kembali koran dan majalah ke raknya. Menghabiskan seduhan terakhir teh mocca made in me. Dan beranjak pergi dari perapian untuk ke kamar. Sudah waktunya aku mengistirahatkan semua otot-otot, pikiran, jiwa dan badanku.

Dua minggu ini SMS itu sudah jarang memenuhi Inboxku. Instan Message yang ada di YM pun tak pernah muncul. Apalagi surat-surat di e-mail darinya tak lagi ada. Kemana dia? Apa sudah merasa jenuh dengan permainan misterinya sendiri? Ah, apa peduliku? Dengan begini aku akan merasa lebih tenang lagi. Tak ada penasaran-penasaran sama orang yang tidak jelas. Dan, mungkin...sial! Aku 'sedikit' kehilangan pesan-pesannya. Kemisteriannya sudah membuat waktu di hariku. Dan dia pergi begitu saja? Ah, memang sepeduli itukah aku? 

"Lagi ngelembur nih?" tanya Mbak Indah yang sudah bersiap-siap untuk pulang. Aku tak sadar kalau waktu begitu cepatnya berputar. Rasanya seperti baru se jam yang lalu aku duduk di depan kursi kerjaku. Eh, sekarang sudah waktunya pulang.
"Tidak kok, Mbak. Sebentar lagi juga pulang, nanggung masih kurang sedikit lagi" jawabku. "Kalau gitu aku pulang dulu ya"
"Oke, Mbak. Hati-hati di jalan" Mbak Indah pun berlalu dari ruangan. Sedang Pak Toni sudah pulang dari sejam yang lalu.

Setelah aku membuang rasa penat dengan menjatuhkan bahu ke awak kursi, aku juga hengkang dari ruangan. Melihat panasnya hari ini, aku jadi malas untuk mengendarai motor. Belum nanti masih menunggu lampu merah jadi hijau di tengah-tengah jalan. Tapi kakiku terus saja berjalan ke tempat parkir untuk menghampiri motor sang pengantarku kemana pun aku pergi.

"Selamat siang setengah sore, Nyi Roro..." spontan aku menoleh ke arah yang punya suara.

Berdiri tak jauh dari tempat motorku diparkirkan. Seorang laki-laki jangkung memakai hem bergaris putih. Wajahnya bersih. Dan ada sedikit jambang yang menghiasi dagunya. Menatapku. Dan tersenyum padaku. Aku mengerutkan kening. Memastikan dengan panggilannya padaku itu.

"Nyi Roro"? bukannya hanya ada satu orang yang memanggilku dengan sebutan itu.

Apa dia...? Dari mana dia tahu...? Ah, ...! Aku mengatur emosiku, dan membalas senyumannya.
"Mbah Dholah?" suaraku agak ragu, tapi senyumnya semakin melebar dan hampir menyerupai tawa kecil.
"Sudah tidak penasaran lagi?" tanyanya dan mendekatiku.
"Pasti kamu lupa, bukannya kita pernah bertemu. Tiga bulan yang lalu." Aku merapatkan alis, tanda tak mengerti apa maksudnya.
"Seminar Majalah terbitan baru kantormu" aku terdiam, mengingat-ingat. Sambil kutatap raut mukanya. Senyumnya, pula suaranya. Aku tersenyum lepas. Aku sudah menemukan jawabannya. Dia...
"Desta!" Desta tertawa. Dia senang telah berhasil membuatku mati suri karena penasaran dengan teka-teki SMSnya. Yang menurutnya sangat misterius. Aku heran, bukannya kita hanya sekali kenal pada waktu itu saja. Kenapa dia sampai nekat minta semua IDku pada Mbak Indah? Dalam hati aku juga tertawa menang. Karena semua SMS itu adalah sebuah "sign" dari hatinya. Dan ternyata dia perlu mengulur waktu untuk memperjelas "tanda" itu. Hari ini, aku terpaksa meninggalkan motorku di tempat parkir sendiri.

Jember, 09 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar